Saya di sini, memulai postingan ini dengan sepenggal cerita. Satu perihal yang melatarbelakangi aku untuk menulis, sebutlah karangan esai ini, tidak lain adalah berangkat dari kegelisahan aku (atau barangkali kegelisahan saya) terhadap stigma yang sering kali dilekatkan terhadap perempuan yang memperlihatkan kecintaannya terhadap olahraga yang dianggap “maskulin”. Barangkali kudu diketahui sebelumnya bahwa aku adalah seseorang yang terlalu menyukai sepak bola, yang bahkan akhir-akhir ini termasuk sering ikuti perkembangan beraneka cabang olahraga lainnya yang dipandang maskulin. Kendati begitu, aku tidak dapat mengklaim diri aku sebagai seorang yang mengerti betul perihal dunia olahraga.
Saat ini, aku masih berada terhadap tahap sebagai penggemar, tanpa menjadi lumayan pantas menyebut diri sebagai “pengulas”. Namun begitu, ketertarikan aku yang kuat terhadap dunia olahraga ini bukan hanya sekadar hobi, tapi dapat dibilang sebagai bagian dari identitas saya, yang lantas mendorong aku untuk berbagi https://www.seasidevolleyballclub.com/ pandangan lewat postingan ini. Seperti yang aku katakan sebelumnya, cuma satu perihal yang mendorong aku menulis karangan esai ini adalah stigma maskulin didalam dunia olahraga yang belakangan ini jadi kegelisahan saya.
Kegelisahan aku sesungguhnya tidaklah terletak terhadap bagaimana aku kudu menyikapi beraneka persepsi perihal perempuan yang mencintai olahraga “maskulin” —terutama sepak bola, gara-gara mengerti kita tidak dapat menampik asumsi bahwasanya sepak bola hanya untuk laki-laki. Kekhawatiran aku justru lebih cenderung terhadap bagaimana stigma ini dapat mencederai keyakinan diri dan mencegah identitas perempuan, terlebih bagi mereka yang terlibat secara segera didalam olahraga “maskulin”.
Minat terhadap Olahraga Maskulin, Terutama Sepak Bola, Bukan Sekadar FOMO
Perempuan yang menggemari olahraga “maskulin”, bahkan jadi atletnya, sering dicap “tomboy”, atau “nggak feminin” gara-gara jalankan sesuatu yang dianggap sebagai ranah laki-laki—seolah-olah kecintaan terhadap olahraga bertentangan dengan femininitas. Padahal, di luar itu, mereka dapat saja nampak seperti perempuan terhadap umumnya. Terlepas dari persepsi yang berseliweran, aku tidak mengidamkan mendorong Anda semua ke suatu arah asumsi khusus selepas membaca postingan ini. Sebab, ini cuman impuls yang aku anggap ‘normal’—biasanya aku sering merasakannya pas mendapatkan ilham untuk menulis.
Merasa belum lumayan dengan stigma, beraneka wujud diskriminasi termasuk sering dialami perempuan termasuk saya, pas menjadi menggemari sepak bola sebagai hobi. Mungkin nyaris semua perempuan yang menyukai olahraga maskulin terlebih sepak bola, pasti dulu minimal sekali diragukan kecintaannya terhadap olahraga ini. Mereka sering kali menghadapi pertanyaan, seperti misalnya, “Emang beneran kamu senang bola? Kamu cewek lho, kan ini olahraga cowok banget.”
Bahkan aku tidak sangsi mengatakan bahwasanya perempuan yang menyukai sepak bola dianggap hanya gara-gara ikuti tren (FOMO) atau melacak eksistensi dan mengidamkan dianggap ‘berbeda’ oleh laki-laki. Hal ini membuat banyak orang mikir kecuali asumsi bahwa perempuan yang menyukai sepak bola hanya sekadar mengidamkan mengikuti laki-laki atau melacak sensasi. Sering kali, kala perempuan memperlihatkan kecintaannya terhadap sepak bola, mereka malah menghadapi tuduhan bahwasanya mereka tidak tahu-menahu perihal dunia persepakbolaan, atau olahraga maskulin lainnya.
Masyarakat sesungguhnya lebih akrab lihat sepak bola sebagai olahraga maskulin, baik sebagai pemain maupun sekadar penggemar. Hal ini nampak dari banyaknya laki-laki yang sering lihat dan bermain sepak bola, pas perempuan yang memperlihatkan minat sebagai pecinta saja agaknya masih dianggap bukan perihal yang wajar.
Sejujurnya, pandangan seperti itu sungguh mengecewakan. Meski begitu, aku tidak dapat menyangkal bahwa sesungguhnya tersedia perempuan yang menyukai sepak bola hanya gara-gara tertarik terhadap fisik pemain atau sekadar ikut-ikutan. Namun, kiranya tidak adil untuk menggeneralisasi bahwa semua perempuan menyukai sepak bola hanya untuk melacak sensasi. Rasa-rasanya masih banyak perempuan di luar sana yang terlalu menyukai sepak bola gara-gara minat mereka yang serius, tanpa embel-embel seperti itu.
Sejak kecil, terlebih kala aku memasuki usia SMP, aku menjadi terlalu tertarik dengan sepak bola dan mengikutinya dengan serius sebagai seorang penggemar. Terus terang, aku tidak menyangka bahwa ketertarikan terhadap sepak bola—yang persis dengan dunia laki-laki—harus menemui beraneka halangan hanya untuk memperlihatkan bahwa aku punyai minat murni gara-gara suka. Meskipun lingkungan daerah tinggal aku tidak terlalu mempermasalahkan perempuan yang menyukai sepak bola, tapi persepsi di lingkungan sekolah terlebih sarana sosial lihat berbeda terhadap perempuan yang menyukai sepak bola. Hal ini aku rasakan sendiri kala menjadi mengfungsikan sarana sosial.
Saat berinteraksi di dunia maya, komentar-komentar sarkastik dan meremehkan sering kali aku hadapi, seolah-olah perempuan tidak berhak untuk mendalami dunia sepak bola. Komentar-komentar menjengkelkan itu sering kali membuat aku menjadi risih gara-gara dianggap tidak mengerti apa-apa perihal dunia sepak bola. Bahkan, teman laki-laki yang mengerti aku menyukai sepak bola sering melontarkan lelucon yang menyangkut tim favorit saya. Meski aku sering menganggapnya sebagai candaan biasa didalam konteks olahraga, tapi aku menjadi perihal ini mencerminkan norma-norma maskulinitas yang masih dominan.
Hal ini membuat aku menyadari, ternyata hanya sekadar jadi pecinta sepak bola tidak semudah kelihatannya. Jujur saja, meskipun hanya sekadar lihat pertandingan atau ikuti perkembangan beraneka cabang olahraga lainnya seperti sepak bola, perihal itu selalu jadi kesenangan bagi saya. Saya selalu menjadi tertarik dengan dinamika dan impuls yang tersedia di dalamnya. Sepak bola, bagi saya, bukan hanya sekadar permainan, tapi “itu kayak ngeliat gimana langkah kerja sama, bikin rencana, dan solid bareng-bareng bikin menang”. Sayangnya, minat aku ini sering kali dianggap nyeleneh atau nggak lumrah oleh beberapa orang hanya gara-gara aku perempuan.
Tidak hanya pecinta sepak bola perempuan yang sering menghadapi perlakuan diskriminasi, tapi termasuk para pemain sepak bola perempuan. Mereka sering kali diremehkan dan dianggap hanya sebagai objek hiburan. Kemampuan olahraganya sering kali diragukan dan dianggap jauh di bawah pemain laki-laki. Saat itu, aku belum mengerti bagaimana membantah argumen murahan mereka dan hanya dapat menerimanya. Namun, saat ini situasinya berbeda.